Banyak di antara kita yang berpendapat jika facebook adalah barang lama, usang dan gak layak pakai. Bahkan ada yang merasa jijik macam najis mugholadoh gitu. “Yaelaah.. hari gini masih fesbukan? Instagram dong, Path dong..”. Banyak nyinyiran yang ditujukan pada user facebook yang masih aktif, tapi tetap yang paling hits adalah nyinyiran “Facebook? Alay!”.
Sebagai aktivis perfesbukan tentu saya merasa bingung dan tratatapan. Lha wong yang posting di IG atau Path saja kadang muncul di Facebook juga kok. Bahkan ada pula yang masih repot-repot upload foto bekas upload-an IG di beranda facebook. Hingar bingar itu saya cuekin saja, kalau kontennya mengganggu ya saya stop following, kalau enggak yaudah saya biarin.
Klaim alay yang melekat di facebook ini tak ubahnya catatan buruk dalam sejarah facebook di Indonesia. Karya Mark Zuckerberg ini ngeksis di Indonesia tepat saat saya duduk di bangku SMA. Sekolah saya itu statusnya agak paradoks. Dibilang anak gaul kota enggak, karena ada sekolah yang lebih gaul. Dibilang kampungan juga enggak, karena ada yang lebih kampung. Meski demikian paham yang paling banyak dianut oleh kami saat itu jelas alayisme.
Dengan melihat kronologi sejarahnya, maka wajar saja jika ada yang bilang fesbukers saat ini adalah alayist yang tertinggal. Masa lalu yang kelam akan selalu menjadi pro dan kontra. Ada yang mendukung digunakannya facebook kembali dan ada pula yang menentang. Tidak beda jauh dengan mantan. Ada yang ingin balen ada juga yang ingin move on. Dyar!
Dalam rangka memahami lebih jauh tentang hal ini, saya berdiskusi dengan seorang blogger nomaden, Bella. Dia ini teman saya semasa SMP. Namun perbedaan SMA dan juga ruang kuliah memberi jarak pada pertemanan kami. Satu-satunya yang merekatkan pertemanan kami ya facebook itu.
Dulu pernah di-block Bella (kampret) karena saya terindikasi alayisme kritis. Namun dengan semangat rennaisance ala Nicolaus Copernicus, dia membantu saya keluar dari kesesatan masa-masa itu. Hingga kemudian kami berdua sebagai fesbukers garda depan bersepakat pada sebuah teori.
seperti RA Jeans. Saya juga keluar dari grup gak penting, kemudian masuk di grup yang aktif dan sesuai dengan passion. Tak luput saya mengganti fanspage gaje yang dulu pernah saya ikuti dengan fanspage yang lebih edukatif, informatif dan talitha latief.
Selain ketakutan pada hantu-hantu alayist, orang-orang yang enggan memakai lagi akun facebook-nya juga terlalu skeptis dengan tingkat keapdetan. Kembali lagi dengan teori diatas, jika lingkaran pertemananmu adalah anak-anak apdet ya kamu gak bakal kudet. Tapi jika lingkaran pertemananmu memang orang-orang yang masih berdebat tentang penampakan dajjal dan hari akhir yasudah, aku mung isoh trenyuh.
Terlepas dari uraian yang saya tulis di atas, harus diakui jika setiap sosial media memiliki user-nya masing-masing. Saya yang cocok di facebook, mungkin tidak cocok di twitter. Yang cocok di Path, bisa juga tidak cocok di IG. Namun, jika kamu adalah blogger yang suka nulis pengalaman pribadi dan pemikiran abadi, saya rasa kamu bakal cocok main di Katanium. Setidaknya bisa dicek dulu, barangkali bisa menciptakan lingkaran pertemanan yang sehat jasmani dan rohani. Semoga apa yang saya paparkan memberi manfaat, kalau ternyata tidak ya mohon diampuni. Isohku ki yo mung nulis-nulis ora penting, sing penting iku gur status singgelmu.
Sebagai aktivis perfesbukan tentu saya merasa bingung dan tratatapan. Lha wong yang posting di IG atau Path saja kadang muncul di Facebook juga kok. Bahkan ada pula yang masih repot-repot upload foto bekas upload-an IG di beranda facebook. Hingar bingar itu saya cuekin saja, kalau kontennya mengganggu ya saya stop following, kalau enggak yaudah saya biarin.
Klaim alay yang melekat di facebook ini tak ubahnya catatan buruk dalam sejarah facebook di Indonesia. Karya Mark Zuckerberg ini ngeksis di Indonesia tepat saat saya duduk di bangku SMA. Sekolah saya itu statusnya agak paradoks. Dibilang anak gaul kota enggak, karena ada sekolah yang lebih gaul. Dibilang kampungan juga enggak, karena ada yang lebih kampung. Meski demikian paham yang paling banyak dianut oleh kami saat itu jelas alayisme.
Alayisme adalah paham yang berambisi pada ego dengan mengedepankan emosi sesaat, kelabilan absolut dan kenorakan yang masif (Ilham, 2016). Awalnya para penganut paham ini disebut alayist. Namun karena terlalu susah diucapkan dan diketik, akhirnya cukup disebut sebagai alay.Hingga saat ini populernya alayisme masih cukup bias, apakah facebook yang membawa paham ini atau kebetulan saja paham ini muncul bertepatan dengan masuknya facebook di tengah masyarakat kita. Paham alayisme ini banyak dianut oleh para remaja pada tahun 2007-2012. Hingga kemudian mengalami fase renaissance pada tahun-tahun berikutnya.
Dengan melihat kronologi sejarahnya, maka wajar saja jika ada yang bilang fesbukers saat ini adalah alayist yang tertinggal. Masa lalu yang kelam akan selalu menjadi pro dan kontra. Ada yang mendukung digunakannya facebook kembali dan ada pula yang menentang. Tidak beda jauh dengan mantan. Ada yang ingin balen ada juga yang ingin move on. Dyar!
Dalam rangka memahami lebih jauh tentang hal ini, saya berdiskusi dengan seorang blogger nomaden, Bella. Dia ini teman saya semasa SMP. Namun perbedaan SMA dan juga ruang kuliah memberi jarak pada pertemanan kami. Satu-satunya yang merekatkan pertemanan kami ya facebook itu.
Dulu pernah di-block Bella (
“Bukan salah facebook kalau isi berita di timeline-mu buruk.”Teori ini sangat jelas dan dapat dipercaya. Prakteknya, saya perlu sedikit repot membersihkan lingkaran pertemanan dari para alayist. Lalu menjalin pertemanan dengan orang-orang yang bermutu tinggi tapi harga tetap terjangkau
Selain ketakutan pada hantu-hantu alayist, orang-orang yang enggan memakai lagi akun facebook-nya juga terlalu skeptis dengan tingkat keapdetan. Kembali lagi dengan teori diatas, jika lingkaran pertemananmu adalah anak-anak apdet ya kamu gak bakal kudet. Tapi jika lingkaran pertemananmu memang orang-orang yang masih berdebat tentang penampakan dajjal dan hari akhir yasudah, aku mung isoh trenyuh.
Terlepas dari uraian yang saya tulis di atas, harus diakui jika setiap sosial media memiliki user-nya masing-masing. Saya yang cocok di facebook, mungkin tidak cocok di twitter. Yang cocok di Path, bisa juga tidak cocok di IG. Namun, jika kamu adalah blogger yang suka nulis pengalaman pribadi dan pemikiran abadi, saya rasa kamu bakal cocok main di Katanium. Setidaknya bisa dicek dulu, barangkali bisa menciptakan lingkaran pertemanan yang sehat jasmani dan rohani. Semoga apa yang saya paparkan memberi manfaat, kalau ternyata tidak ya mohon diampuni. Isohku ki yo mung nulis-nulis ora penting, sing penting iku gur status singgelmu.
Saya gak banyak komen sih mas tapi mau tanya nih kalau yang dinamakan lingkaran peremanan yang sehat jasmani dan rohani itu kaya gimana ya saya baru denger nih ? :D
BalasHapusYa berteman dengan orang yang tidak melukai batin dan ragawi kita. Hahahha.
HapusMakasih ya sudah mampir.
Bhahaha kalau sekarang mah untuk temen-temen umur 20+ tuh golongan yang muncul di TL FB biasanya mulai extrimis haha khususnya politik dan agama. Tapi kalau aku, untuk hal ini tak biarin (beberapa aja sih, 1 -3 ajalah kalau kebanyakan nanti aku ketularan gak waras) itung-itung buat bahan pengamatan :D
BalasHapusOiya golongan extrimis itu juga bikin hari-hari makin nyesek. Sudah ditolak gebetan berkali-kali saja nyesek apalagi pas buka facebook baca postingan extrimis, makin nyesek. #hapasseehh
HapusSaya cocok dengan semua sosmed, karena hampir punya semua akun. hahaha #maruk
BalasHapusBudy | Travelling Addict
Blogger abal-abal
www.travellingaddict.com