Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas. Kira-kira ungkapan Eka Kurniawan itulah yang tepat untuk memotivasi kami bertujuh mengunjungi desa Tompegunung. Desa Tompegunung adalah tempat dimana saya dan kawan-kawan dulu pernah menjalankan program KKN. Desa ini letaknya tersembunyi dari keramaian kabupaten Pati. Perlu keteguhan, kesabaran, tekad dan motor tahan banting untuk bisa sampai di sini.
Sabtu, 13 Agustus 2016 adalah hari yang kami pilih untuk merajut kenangan di desa Tompe. Rencana awal kami berangkat dari Solo pukul enam pagi. Namanya juga manusia berencana, Tuhan menentukan. Sejak subuh hingga setengah waktu dhuha, kota Solo sudah diguyur hujan deras. Kami baru memulai perjalan sekitar pukul sembilan. Sebuah pagi yang sangat terlambat untuk menempuh perjalanan melawan truk dan bus.
Pegal dan deg-degan, rasanya seperti menempuh ujian nasional soal fisika padahal dua tahun jadi anak IPS, kira-kira begitu yang saya rasakan ketika melaju menuju desa Tompe. Di tengah jalan, saya sempat terpisah dari rombongan karena salah belok. Namanya juga manusia rapuh, salah itu sudah biasa. Wong sudah tau yang ditaksir punya pacar, tapi tetep memendam rasa kangen gitu juga ada kok. Apalagi kalau urusan salah ambil jalan, harap maklum saja. Meski demikian, tekad yang sudah bulat membawa seluruh raga ini sampai di lokasi dengan selamat. Say something, gaes!! Alhamdulillah.
Matahari semakin gagah menunjukkan siangnya. Kami mulai masuk ke kawasan desa Tompe sekitar pukul setengah duabelas. Tanpa basa-basi kami langsung menuju rumah kontrakan yang dulu pernah dipakai jadi gubuk derita anak KKN. Rumah itu ternyata tidak pernah ditempati sejak kami meninggalkannya. Kami menemukan barang-barang kenangan yang masih tertinggal di sana, jadwal piket misalnya.
Sabtu, 13 Agustus 2016 adalah hari yang kami pilih untuk merajut kenangan di desa Tompe. Rencana awal kami berangkat dari Solo pukul enam pagi. Namanya juga manusia berencana, Tuhan menentukan. Sejak subuh hingga setengah waktu dhuha, kota Solo sudah diguyur hujan deras. Kami baru memulai perjalan sekitar pukul sembilan. Sebuah pagi yang sangat terlambat untuk menempuh perjalanan melawan truk dan bus.
Pegal dan deg-degan, rasanya seperti menempuh ujian nasional soal fisika padahal dua tahun jadi anak IPS, kira-kira begitu yang saya rasakan ketika melaju menuju desa Tompe. Di tengah jalan, saya sempat terpisah dari rombongan karena salah belok. Namanya juga manusia rapuh, salah itu sudah biasa. Wong sudah tau yang ditaksir punya pacar, tapi tetep memendam rasa kangen gitu juga ada kok. Apalagi kalau urusan salah ambil jalan, harap maklum saja. Meski demikian, tekad yang sudah bulat membawa seluruh raga ini sampai di lokasi dengan selamat. Say something, gaes!! Alhamdulillah.
Matahari semakin gagah menunjukkan siangnya. Kami mulai masuk ke kawasan desa Tompe sekitar pukul setengah duabelas. Tanpa basa-basi kami langsung menuju rumah kontrakan yang dulu pernah dipakai jadi gubuk derita anak KKN. Rumah itu ternyata tidak pernah ditempati sejak kami meninggalkannya. Kami menemukan barang-barang kenangan yang masih tertinggal di sana, jadwal piket misalnya.
Baru istirahat sebentar, kami bertujuh diundang ke rumah Pak Wo untuk menyantap makan siang. Pak Wo ini nama aslinya Hartiyo. Beliau adalah seorang Kamituwo, yaitu sebutan untuk orang yang menguasai desa macam hokage. Panggilan keagungannya ya Pak Wo (kamituwo) gitu gaes. Nah, sebagai generasi penerus bangsa yang passion-nya di bidang kuliner gratisan, kami tentu saja antusias menyanggupi undangan Pak Wo.
Hidangan sederhana macam nasi sayur dan tempe, kami santap penuh percaya diri. Obrolan hangat dan sedikit malu-malu tentu menghiasi meja hidangan kami. Kenikmatan macam apalagi yang akan didustakan selain memadukan kenangan dan makan gratis? Sejenak, saya lupa kalau kuliah belum selesai, cita-cita belum tergapai dan gebetan belum terbuai.
Aktivitas kami di desa Tompe saat itu terbilang biasa, sederhana dan gaje beud. Usai makan siang, kami jalan-jalan menyusuri sudut-sudut desa yang menyegarkan. Lalu rehat di beberapa tempat memorable seperti balai desa, gedung SD dan tokonya mbak Rini. Bak artis, anak-anak kecil menyapa kami dengan riang gembira. “KKN...KKN...KKN...” begitulah kiranya sebutan yang disematkan pada kami. Saya curgia, mereka mungkin ngira KKN itu Koplo-Koplo Nyoss, macam oposisi biner dari Big Bang atau Suju gitu.
Pencarian jejak-jejak kenangan yang kami lakukan ini sebenarnya nanggung sekali. Karena tidak banyak waktu yang kami miliki untuk bercengkrama dengan warga. Tapi sisi baiknya, keterbatasan waktu itu mencegah timbunan lemak dalam tubuh kami. Bagaimana tidak? Setiap rumah selalu menawarkan nasi sebagai hidangannya. Eh, bukan menawarkan. Tapi memaksa. Awalnya, kami bahagia-bahagia saja mendapat makan gratis. Eh, gak taunya semua warga nawari makanan gratis, nasi pula. Nggak kuat perut ini gaees.
Menyederhanakan kebisingan kota dengan udara segar di desa Tompe sepertinya sebuah keputusan yang tepat bagi kami pada waktu itu. Ketenangan dan atmosfer kerinduan bercumbu dalam kalbu yang menjadikan setiap detik masa lampau terasa begitu cepat. Mau bagaimana lagi? Satu-satunya hal paling jauh dari manusia adalah hari kemarin. Hari kemarin tidak akan bisa berulang, Tuhan hanya mengijinkan kita mengenang. Bukankah sayang juga begitu? Kalau sudah kandas ya kandas saja. Mengharap balen itu fana. Ini saya malah ngomongin apa. Fak! Efek tiba-tiba playlist muter lagunya Vagetoz feat Baby Margaretha nih.
Namun, dalam mengenang pasti muncul kegentiran. Seperti saat kami diburu waktu untuk segera pulang sebelum matahari pindah di belahan bumi yang lain. Pukul lima sore kami baru beranjak dari desa Tompe. Mau tidak mau kami harus melewati jalanan berhutan tanpa lampu penerangan. Namanya juga menjemput rindu, pasti ada titik gelap yang harus dilalui. Perlu kehati-hatian dan olah pedal yang tangkas untuk bisa melewati jalan kampret markumpret itu.
Ada beberapa momen berbahaya yang tidak bisa saya tuliskan detail kejadiannya satu per satu. Apa yang kamu harapkan gaes? Saya bukan Dr. Watson. Sisi baiknya, semua kegetiran itu berakhir dengan keselamatan bagi kami semua. Selamat fisik dan batin. Hanya menyisakan sedikit rasa pegal di bagian leher, punggung, pantat dan kesemutan di bagian itu. You know laah.
Semua yang kami lakukan pada hari itu merupakan cara sederhana beranjak dari kebisingan aktivitas sehari-hari. Dalam menjalani rutinitas, muak dan jengah itu sudah pasti kita rasakan. Maka dari itu, kita perlu mengatasi diri sendiri. Dengan cara-cara sederhana tapi tidak biasa. Melakukan hal baru, mengunjungi tempat baru atau sekedar meniti masa lalu juga boleh-boleh saja. Jangan sampai kita terjerembab dalam jeratan karoshi (fenomena di Jepang: kematian karena sibuk bekerja).
Daripada setres memikirkan yang belum tentu terjadi. Mencemaskan yang belum pasti. Lebih baik kita ena ena bersama. Cemas nggak cemas hari senin tetap saja tiba. Ayo beranjak dari kekhawatiran esok hari. Berliburlah! Ena ena!!
Cheng Sew Club adalah nama yang saya buat-buat sendiri. Asal kata dari Cengkal Sewu, tempat dimana kami suka makan Nasi Gandul (makanan khas Pati). Suatu ketika teman saya ada yang mengajak makan dengan celetukan "Yuk, Cheng Sew!!". Yasudah, saya namakan saja Cheng Sew Club.
Waaah KKN yang amat keliatannya seru. Janjian jam 6an otw jam 9an? wkwk super duper luar biasa amazing macipot ngaretnyaaaaa gan.
BalasHapusJadi warga pada nawarin makan semua ya? Wahhh emang orang desa sukanya gitu-gitu sih yaa jadi ke enakan yang ditawarin kan hahaha.
Btw KKN itu ngapain gan? Kuliah kerja N?
willynana.blogspot.com
KKN-nya sudah selesai sih mbak. Ini cuma kembali ngunjungi lokasi desanya aja. Hahaha, sekalian silahturrahmi. :D
Hapus