Tahun 2012 adalah awal saya mencoba bersenang-senang dengan blog. Kesenangan ini diwadahi oleh komunitas Kancut Keblenger yang kala itu ramai sekali. Bagaimana tidak? Dulu, di grup facebook Kancut Keblenger selalu penuh dengan list blogwalking, belasan atau bahkan puluhan per harinya. Artinya, setiap hari selalu saja ada konten baru yang siap untuk dinikmati.
Pada masa itu, konten yang disajikan kebanyakan adalah soal kedirian. Entah itu mencurahkan isi hati, menceritakan pengalaman hidupnya, atau menuangkan gagasan yang menjejali isi otaknya.
Genre pun bervariasi. Kebanyakan, sih, komedi. Tapi ada juga yang sendu, nyastra, haha-hihi-hore, bijak, mesum, dan yang lempeng-lempeng saja juga ada. Lebih seru lagi kalau bertemu dengan blog yang artsy. Biasanya yang tipe begini menyediakan label artwok yang isinya karya-karya dia, baik itu doodle, zentangle, sketsa, atau karya-karya digital yang banyak macamnya.
Berkunjung ke blog atau yang sering disebut blogwalking menjadi ajang bertamu yang menyenangkan. Bagaimana tidak? Dengan blogwalking kita bisa membaca bagian dari hidup orang lain, bisa melihat hasil pengkaryaannya, bahkan bisa menyimak pencapaian yang ia peroleh. Benar-benar seperti bertamu ke rumah kawan dekat.
Tapi itu dulu.
Sekarang keadaan sudah agak berbeda. Ada sesuatu yang menggoncangkan dunia blog. Paling tidak di lingkaran saya.
Sebelumnya, saya sempat vakum dari dunia perblogeran hampir satu tahun. Berhenti pada April 2015 lalu kembali pada Maret 2016. Alasan kevakuman tersebut bukan karena jenuh atau apa. Tapi demi alasan yang maha mulia, yaitu mau fokus k-u-l-i-a-h. Hahaha. Sampai sekarang saya masih merasa geli. Bagaimana tidak? Gaya-gayaan fokus kuliah, lha wong pada akhirnya drop out juga. Bajindul tenan.
Saya kembali ngeblog bertepatan dengan selesainya masa KKN yang saya tempuh di pelosok Pati. Ceritanya, setelah KKN selesai, saya merasa begitu asing dengan kampus. Teman-teman seangkatan sudah pada lulus dan yang beda angkatan punya dunia sendiri-sendiri. Akhirnya, saya menghabiskan banyak waktu di perpustakaan sendirian. Di situlah kemudian saya main blog lagi.
Sayangnya, beberapa kawan bloger yang dulu pernah jadi langganan saya buat bercengkrama pada saat itu sudah tidak aktif lagi blognya.
List blog di grup Kancut Keblenger pun dibuat jadi sistem periodik. Misal, periode pertama dibuka dari tanggal 1 sampai 7. Periode kedua tanggal 8 sampai 15. Jadi sudah tidak per hari lagi. Pikirku saat itu, “Gila, selesu ini, kah?”
Beruntunglah pada saat itu saya terselamatkan oleh bloger ndladuk asal Banjarmasin, Jung Jawa. Sebenarnya sudah kenal lama sejak berada di Kancut Keblenger, tapi perkenalan itu hanya sebatas chat facebook yang tidak seberapa.
Menghadapi kecemasan saya yang merasa perblogeran teramat sepi, lantas Jung memperkenalkan karyanya yang bernama Katanium kepada saya. Dan benar saja, melalui Katanium itulah saya mendapati beberapa blog untuk dikunjungi. Saya juga kembali bersemangat untuk menulis dan berniat menggulingkan tahta leaderboard. Meski tidak bisa.
Aktivitas ngeblog saat itu kembali menyenangkan. Saya menulis apa yang saya mau. Dan saya membaca tulisan orang sebagaimana yang mereka mau.
Tidak cukup dengan itu, saya lantas bergabung dengan grup WhatsApp Pojok WB (Warung Blogger) melalui tawaran dari bloger om-om, Andika Manggala, di grup facebook Warung Blogger. Dan dari situlah daftar blogwalking saya semakin banyak.
Saya ingat betul dua artikel yang awal sekali saya kunjungi di Pojok WB adalah tulisan bertema kopi yang ditulis oleh Tiwi dan Fandy. Dua-duanya sama-sama menyukai buku dan sastra. Untunglah, dari kedua itu cuma satu yang menyukai saya. Tentu saja bukan Fandy.
Waktu terus berjalan sampai Jung mengajak saya untuk mengikuti acara yang mengundang para bloger di Solo. Alhasil, jadilah saya dimasukkan ke dalam grup #BloggerSolo sampai hari ini.
Setelah meredupnya Katanium, dunia perblogeran saya seperti mengerucut pada Warung Blogger dan #BloggerSolo. Melalui kedua komunitas inilah saya berselancar maya. Kadang juga blogwalking ke beberapa grup bloger yang ada di Facebook, sih. Tapi tidak banyak.
Semakin ke sini, semakin ke sini, dan terus ke sini, saya kok merasa ada yang kurang greget.
Usut punya usut, ternyata keresahan itu saya dapatkan tatkala mendapati tulisan-tulisan sponsorship yang kurang ciamik penyajiannya. Maksudnya bagaimana? Tulisan yang disponsori oleh brand atau instansi tertentu tidak semua terasa menyenangkan ketika saya membacanya, gitu, lho. Woo kampret, cuma diwalik-walik thok istilahe.
Duh, bagaimana ya. Coba simak kisah di bawah ini, deh.
Suatu ketika sepasang kekasih, Plato dan Platy, membicarakan hal serius mengenai tulisan pariwara di dalam blog. (Bold: Plato, Reguler: Platy)
“Kamu tuh tega ya sama aku!”
“Ha? Aku kenapa?”
“Kamu udah berubah. Kamu nggak kayak yang aku kenal dulu!”
“Sayang, kita harus realistis. Di era sekarang kita dituntut untuk..”
“Ha? Aku kenapa?”
“Kamu udah berubah. Kamu nggak kayak yang aku kenal dulu!”
“Sayang, kita harus realistis. Di era sekarang kita dituntut untuk..”
“Menggadaikan kreativitas? Itu mau kamu bilang, ha? Sudah mahal-mahal jajan di Mecdie cuma buat cari wifi biar bisa baca tulisan terbaru kamu. TAPI APA? Isinya iklan, iklan, iklan melulu. Emangnya aku peduli apa sama asuransi dan obat bisul? Aku datang ke blogmu karena aku peduli sama kamu, bukan sama iklan!”
“Tapi kebetulan aku emang bisulan, Sayang.”
“Terus? Kamu obati pakai salep yang kamu iklankan itu?”
“Ee.. Nggak juga, sih. Mahal.”
“Tuh kan!”
“Iya dengar dulu penjelasan aku. Gini, aku butuh pemasukan. Aku suka menulis di blog. Jadi apa aku salah jika menulis di blog buat dapat pemasukan?”
“Sampai situ kamu tidak salah. Sekarang aku tanya, gimana caramu nulis iklan?”
“Ya gampang aja. Tinggal nulis soal produk yang diinginkan klien secara spesifik. Kadang dari mereka sudah ada yang memberi materinya, jadi aku tinggal nyalin saja. Yang penting tiap syarat dari klien aku penuhi, lah.”
“Jadi sekarang kamu menulis buat klien? Bukan buat pembacamu yang sesungguhnya?”
“Ya tentu buat pembaca juga, dong. Tapi kan aku juga harus memenuhi syarat dari klien. Soalnya sudah ada kontrak.”
“Bukan itu poinnya. Yang kumaksud itu, ketika kamu menulis untuk klien dengan cara yang sama seperti kamu ngerjain soal ujian agar dinilai bagus oleh guru, saat itulah kumerasa kamu tersesat.”
“Maksudnya?”
“Kamu ingat ketika kita masih SD terus bikin makalah tentang relativitas waktu, teori kuantum, atau postmodernisme? Saat itu kita nggak tahu dengan apa yang kita tulis. Kita tinggal salin dari apa yang sudah ada di google. Demi apa dan siapa? Pengabdian terhadap dunia akademis kita? Nggak. Kita kerjakan seperti itu demi dapat nilai 100 dari guru. You get my point?”
“Maksudmu cara menulisku cuma agar dibaca sama klien saja, begitu? Aku nggak merasa gitu, kok. Aku sudah mengemasnya pakai bahasaku sendiri.”
“Ya, setidaknya kamu pakai bahasamu sendiri. Yang lain kadang ada yang lebih parah. Tapi mengganti gaya bahasa saja menurutku tidak cukup. Gini, kamu sering risih nggak kalau pas nonton TV tiba-tiba dijeda iklan? Atau pas kamu lagi masyuk nulis tiba-tiba disamperin sales rokok?”
“Risih, sih.”
“Nah, jadi kamu bisa bayangin gimana perasaanku saat sengaja datang ke blogmu dan ternyata isinya iklan semua?”
“Bener juga, sih. Terus aku harus gimana? Stop nerima job?
“Nggak sepolos itu juga. Coba kamu lihat di sinetron-sinetron sekarang, banyak iklan yang masuk di dalam cerita. Seperti ada adegan ngobrol di teras, lalu datang PRT yang bawa kopi. Nah, produk kopi itu dijelaskan sama PRT ke juragan dan tamu di dalam cerita itu. Kalau adegan ini terlalu lama pasti mengganggu. Tapi kalau cuma sekelebat saja, sih, tidak. Kurasa porsinya di sinetron-sinetron itu sudah pas.”
“Ooh.. Kayak softselling gitu, ya? Tapi itu kan di TV. Kalau tulisan di blog?”
“Nah, itu silakan kreativitas kamu yang bicara. Kalalu tips dari aku, coba kamu masukkan sisi personalmu ke tulisan itu. Baik itu apa yang kamu alami, pikirkan, atau rasakan. Mestinya, kuatnya sisi personal itulah yang menjadi pembeda dari iklan di media-media lain. Kepersonalan itulah spiritnya bloger.”
“Apa nggak ribet itu?”
“Kalau tujuanmu nulis buat klien ya itu ribet. Tapi kalau buat pembaca lain, ya, menurutku itu perlu. Bahkan menurutku, kalau kita bikin review film misalnya. Kita jangan sampai menggunakan cara me-review-nya Muvila, BookMyShow, apalagi Cinema 21. Ya masak, sih, kita paparkan spesifiksi film layaknya media lain di blog pribadi kita? Kita perlu masukkan subjektivitas yang lebih karena setiap orang punya cara pandang menariknya masing-masing.”
“Dan membaca keunikan cara pandang tiap orang itulah yang menarik dari membaca blog.”
“Nah! You get my point. Sekarang coba kamu nulis iklanmu pakai gaya baru.”
“Oke! Etapi bisulku gimana?”
“Ra urusan, Su!”
“Tapi kebetulan aku emang bisulan, Sayang.”
“Terus? Kamu obati pakai salep yang kamu iklankan itu?”
“Ee.. Nggak juga, sih. Mahal.”
“Tuh kan!”
“Iya dengar dulu penjelasan aku. Gini, aku butuh pemasukan. Aku suka menulis di blog. Jadi apa aku salah jika menulis di blog buat dapat pemasukan?”
“Sampai situ kamu tidak salah. Sekarang aku tanya, gimana caramu nulis iklan?”
“Ya gampang aja. Tinggal nulis soal produk yang diinginkan klien secara spesifik. Kadang dari mereka sudah ada yang memberi materinya, jadi aku tinggal nyalin saja. Yang penting tiap syarat dari klien aku penuhi, lah.”
“Jadi sekarang kamu menulis buat klien? Bukan buat pembacamu yang sesungguhnya?”
“Ya tentu buat pembaca juga, dong. Tapi kan aku juga harus memenuhi syarat dari klien. Soalnya sudah ada kontrak.”
“Bukan itu poinnya. Yang kumaksud itu, ketika kamu menulis untuk klien dengan cara yang sama seperti kamu ngerjain soal ujian agar dinilai bagus oleh guru, saat itulah kumerasa kamu tersesat.”
“Maksudnya?”
“Kamu ingat ketika kita masih SD terus bikin makalah tentang relativitas waktu, teori kuantum, atau postmodernisme? Saat itu kita nggak tahu dengan apa yang kita tulis. Kita tinggal salin dari apa yang sudah ada di google. Demi apa dan siapa? Pengabdian terhadap dunia akademis kita? Nggak. Kita kerjakan seperti itu demi dapat nilai 100 dari guru. You get my point?”
“Maksudmu cara menulisku cuma agar dibaca sama klien saja, begitu? Aku nggak merasa gitu, kok. Aku sudah mengemasnya pakai bahasaku sendiri.”
“Ya, setidaknya kamu pakai bahasamu sendiri. Yang lain kadang ada yang lebih parah. Tapi mengganti gaya bahasa saja menurutku tidak cukup. Gini, kamu sering risih nggak kalau pas nonton TV tiba-tiba dijeda iklan? Atau pas kamu lagi masyuk nulis tiba-tiba disamperin sales rokok?”
“Risih, sih.”
“Nah, jadi kamu bisa bayangin gimana perasaanku saat sengaja datang ke blogmu dan ternyata isinya iklan semua?”
“Bener juga, sih. Terus aku harus gimana? Stop nerima job?
“Nggak sepolos itu juga. Coba kamu lihat di sinetron-sinetron sekarang, banyak iklan yang masuk di dalam cerita. Seperti ada adegan ngobrol di teras, lalu datang PRT yang bawa kopi. Nah, produk kopi itu dijelaskan sama PRT ke juragan dan tamu di dalam cerita itu. Kalau adegan ini terlalu lama pasti mengganggu. Tapi kalau cuma sekelebat saja, sih, tidak. Kurasa porsinya di sinetron-sinetron itu sudah pas.”
“Ooh.. Kayak softselling gitu, ya? Tapi itu kan di TV. Kalau tulisan di blog?”
“Nah, itu silakan kreativitas kamu yang bicara. Kalalu tips dari aku, coba kamu masukkan sisi personalmu ke tulisan itu. Baik itu apa yang kamu alami, pikirkan, atau rasakan. Mestinya, kuatnya sisi personal itulah yang menjadi pembeda dari iklan di media-media lain. Kepersonalan itulah spiritnya bloger.”
“Apa nggak ribet itu?”
“Kalau tujuanmu nulis buat klien ya itu ribet. Tapi kalau buat pembaca lain, ya, menurutku itu perlu. Bahkan menurutku, kalau kita bikin review film misalnya. Kita jangan sampai menggunakan cara me-review-nya Muvila, BookMyShow, apalagi Cinema 21. Ya masak, sih, kita paparkan spesifiksi film layaknya media lain di blog pribadi kita? Kita perlu masukkan subjektivitas yang lebih karena setiap orang punya cara pandang menariknya masing-masing.”
“Dan membaca keunikan cara pandang tiap orang itulah yang menarik dari membaca blog.”
“Nah! You get my point. Sekarang coba kamu nulis iklanmu pakai gaya baru.”
“Oke! Etapi bisulku gimana?”
“Ra urusan, Su!”
Menjadikan blog pribadi sebagai pundi-pundi rezeki tentu tidaklah salah. Karena memang blog adalah aset yang kita miliki. Setiap bloger memang punya kuasa atas blog yang ia kelola sendiri. Tapi bukan berarti kita bisa semena-mena. Pembaca adalah patokan terhadap apa yang kita kelola. Untuk itulah kita membuat konten, bukan?
Ibarat arsitek, ia tidak mendesain gedung seenaknya sendiri, asal jadi, lalu dapat bayaran. Tidak. Ia memikirkan kenyaman dan keamanan tiap orang yang akan tinggal di gedung itu. Ia jadikan kebutuhan orang-orang itu sebagai alasan dan tujuan untuk merancang setiap sudut gedung bikinannya.
Saya salut dengan teman-teman bloger yang dengan apik menyajikan tulisan iklan, job review, campaign, atau yang sekadar meletakkan backlink ke sponsor. Saya pun masih belajar dalam hal ini. Kritik, saran, cacian, dengan senang hati saya terima.
Asal jangan no mention di twitter. Jarang buka.
So, punya pendapat soal topik ini? Silakan berbagi gagasanmu di kolom komentar atau melalui postingan blogmu. Mari kita diskusikan demi variasi blog yang haqiqi!
Image source: pexels.com
ANAK SD MANA YANG TUGAS MAKALAHNYA TENTANG RELATIVITAS WAKTU, TEORI KUANTUM, SAMA POSTMODERNISME OOOYY? AELAH LU AH, MABU GAK GINI-GINI AMAT JUGAAA WKWKWK
BalasHapusKamu bosan gak lihat blogku banyak iklan? Kamu gak mau review iklan yang aku bikin apa? Coba tuliskan dalam minimal 500 kata! *malah ngasih tugas bhahaha*
Tulisan yang bagus. Kamunya juga bagus. Apalagi gondrongnya.
Buset ngamuk-ngamuk gini lau wahahaha.
HapusDuh, gimana aku bisa bosan dengan tulisan iklanmu? Hlawong selalu terselip curhat yang menarik. Sini sini tak uncali kegondrongan ini.
Bangsaatt.. anak SD mana yang belajar relativitas waktu.
BalasHapusNama gue salah woyyy?? Emang lau yang masukin ke pojok gue gitu?
Hash ra urusan. Namamu sulit. Iya lau yang ngundang dari grup facebook ke wassap.
HapusWoooo... Blognya sudah pakai domain sendiri! Ntabs! Btw, apakah blogku masuk ke dalam blog bacaanmu? Eaaa...
BalasHapusDan soal tulisan berbayar, entahlah. Aku tidak begitu pandai dalam hal ini. Karena jarang sekali ada tawaran yang mampir ke email. Duh, jadi curcol. :'(
Udah lama nih pakai domain sendiri wahaha. Duh, jadi inget tenggat waktu. Eaaaa.. baca gak yaa. Hahahaha.
HapusHmm.. Masih belum menjumpai yang semacam itu sih..
BalasHapusMungkin blogwalking yang kurang.. hehe
Suatu saat pasti kau alami, Maz...
HapusIni menjadi keresahan bagi banyak blogger, termasuk saya. Dan di satu sisi pun saya berusahaaa pake banget pengin bikin tulisan sponsorship yang menarik dari sudut pembaca, but it's not easy. Hiks ... Tapi, tetap terus belajaaar dan menulis.
BalasHapusSelain itu, visual juga penting bagi saya entah mau tulisan berbayar atau nggak. Barangkali karena saya orang yang suka visual kali ya :D visual dalam artian foto atau infografis hehehe barangkali bisa diakalin dengan infografis apa ya biar postingan nggak membosankan.
Salah satu blog yg suka aku baca, tulisan nya kadang bikin mikir, kok bisa kepikiran nulis gini ya? Hahahaa
BalasHapusSemakin banyak yg membahas perihal cara penyampaian tulisan yg isinya iklan, ya. Senang rasanya di dunia yg hampir edan ini masih ada orang yg berani mengutarakan kebenaran. :)
BalasHapusTulis juga donk, kak.
HapusMemang jenuh kalau blogwalking isinya semua sponsored post.
BalasHapusTapi tentu bagi penulis yang ingin menyuarakan isi hati, ingin didengar hatinya.
Jadi setuju banget kaya yang dirulis di atas.
Jadikan sponsored post sesuai dengan gaya bahasa dan warna blog kita.
Jangan asal main ambil job namun jadi gak sesuai sama niche blog.
ya begitulah mas, masalahnya sekarang banyak yang kurang memikirkan konsumen tetapi yang dipikirkan itu sponsor hehheheheheee (kabur)
BalasHapusiyaaaa... aku juga ngerasa gimanaaaa gitu
BalasHapusmaunya diskip-skip aja, padahal juga akunya kadang tulisannya berbayar juga, hehehe...
aku sih masih belum bisa nulis softselling, susaaaaah... jadinya nggak tega kalau teman2 baca. apalagi kalau artikelnya udah disediakan. duh, makin susah deh. tapi ini inshaa Allah sedang berproses kok
tapi minimal, di grup warung blogger, intensitas bw sponsored post dikurangi itu rasanyaaaaa bebaaaaaas.... nggak ada tekanan, nggak bosen, nggak menguras pikiran untuk nyari komentar dalam sudut pandang yang berbeda. hahaha
juga nggak bikin iri blogger daerah yang jarang dapat job offline hmmmm
nah itu, nulis softselling itu yg pengen banget kulakuin mas.
BalasHapusBtw pernah saya mengalami rasanya kok blog mirip etalase, akhirnya selama bbrp waktu saya menolak-nolak (gaya) sponsorship yg masuk utk memperbaiki kualitas blog.
Dulu saya ngefans banget sama sebuah blog family gtu, isinya cuma cerita keseharian namun bikin saya kepoh ini kekluarga besok ngapain dll.
Saya pegennya imbang ya antara monetize blog sama tulisan pribadi, malah kalau bisa tulisan pribadi jd pembacanya jg nungguin tulisan saya seperti saya dulu nungguin isi blog yg saya suka itu :D
Ini pas banget yaaa sama tujuan kita BW di pekan ini. Sekalipun blogger udh pd profesional, semoga masih banyak yg jujur menulis dari hati
BalasHapusBlogger yang tulisannya kebanyakan iklan pasti lama kelamaan akan ditinggalkan oleh pembacanya. Itu adalah konsekuensinya. Bagus tips terselubungnya nih, patut dicoba kalau dapat job review.
BalasHapusRamainya bahasan soal lelah membaca tulisan berbayar ini terus terang kaya bikin aku ditampar. PLAAAKKKK! Tenang, bukan Ilham yang nampar, tapi Dhika yang berani memulai duluan keresahan ini. Sebagai pelaku penulis bayaran tapi juga korban yang mual membaca tulisan yang lagi-lagi itu, lagi-lagi itu, aku merasa serba salah. Sebenarnya aku tahu banget solusinya: yang pertama melatih menulis lebih kreatif lagi agar meski itu tulisan berbayar tapi bisa terlihat beda dari teman-teman yang lain, yang kedua menyeimbangkan isi blog. Mungkin untuk yang pertama butuh waktu untuk mengasah keterampilan itu. Tapi yang kedua, insya Allah sedang aku terapkan sejak sebulan yang lalu. Doain saja aku, juga teman-teman blogger lain bisa menyadari dan membuat keseimbangan ini.
BalasHapusBtw, anak SD sudah belajar relativitas waktu ya? SD mana tuh?????
Baca postingan ini aku berasa nostalgia. Inget banget awal-awal ngeblog tuh bawaannya happy banget soalnya isi postingan temen-temen blogger itu lebih beragam, sesuai sama gaya mereka, dan terasa lebih personal hahaha jadi setiap blogger punya gayanya masing-masing. Sekalipun dulu sempet booming juga postingan yang cerita keseharian biar dibikin lucu gitu karena berkiblat ke beberapa blogger yang kontennya demikian, tapi tetep renyah dinikmati karena dikemas dengan apik.
BalasHapusTerkadang aku rindu sama blogger-blogger jaman dulu yang sekarang sebagian besar udah pada enggak pernah update blog mereka lagi.
Di sisi lain aku juga menyadari sih, semakin hari dunia semakin berkembang pun dengan dunia blog. Kini, dunia blog terasa menjanjikan mungkin ya. Kapan lagi kan kita melakukan hobi dan sesuatu yang kita suka, dan dibayar pula😂
Hanya saja yang kurangnya adalah kita mungkin pernah lalai buat lebih memperhatikan isi konten blog kita, saking pengin memberikan sesuatu buat klien, alhasil bikin isi postingannya jadi terlalu menjenuhkan karena terkesan ngiklan banget.
Aku juga belum terlalu bisa nampaknya bikin tulisan yang berbau soft selling, tapi sebagai manusia aku hanya berusaha untuk terus belajar dan berproses menjadi lebih baik lagi😊
Semoga ke depannya, para blogger termasuk aku bisa lebih mengasah kreativitasnya lagi sehingga sajian konten yang kita berikan pada pembaca bisa diterima dengan baik😊
Memang jadi bikin males BW sih. Krn keasyikan ngeblog jadi berkurang. Dulu, datang ke blog bisa apal tuh usia anak, namanya, kesukaannya, sampai nama2 budhe dan tetangga sebelahnya juga hapal. Krn dulu blogku blog diary keluarga.
BalasHapusSekarang kayak baca iklan di blog.
nulis softselling rada susah tuh kayanya. Saya juga malas tuh BW klo artikel yang isinya sponsorship terus suka jenuh sendiri karena di bayarpun. Rada gimana gitu kan.
BalasHapusIyak. Aku sama sekali sepikiran tentang isi post ini. Ya, selain tentang anak SD yang bikin makalah tentang relativitas waktu atau post-modernism. Bahkan, aku aja pas SMP pernah bikin makalah tentang penyakit menular seksual aja meski ya, ujung-ujungnya bahan copy paste dari Wikipedia. Mungkin, aku aja masih belum berhasil bikin makalah tentang fungsi obat ini serta patofisiologi dan mekanisme kerja obat-obatan itu dari segi molekuler ataupun dari segi anatomis. Halaah. koe ngomong opo toh, Han.
BalasHapusNamun, memang sih, aku entah kenapa belakangan ini, ketika aku lagi sering-seringnya ingin berjalan-jalan di dunia blog, isi blognya kebanyakan jualan dan jualan. I know they need money, gue juga sempat bekerja untuk media yang minta aku bikin semacam softselling tapi entah kenapa itu masih kurang sesuai dengan gaya kepenulisanku. Halah, nulis cuma jarang-jarang, udah sok-sokan punya gaya.
Ya, intinya adalah.. ntar aku mau paksa anakku bikin makalah tentang akuntansi dan promosi periklanan media pas dia masih TK. Menarik juga. Tiba-tiba ada anak TK turut bantu ngiklanin obat anti bisul gitu
eh... Kancut Kblenger masih ada ngga sih? aku sempet gabung dulu tapi ngga pernah aktif lagi sekarang. Masih ada ngga ya komunitasnya?
BalasHapusKlo aku sih blogwalking karena suka ama tulisannya, suka ama sosoknya atau tulisannya berhubungan dengan hoby dan passion sih. lebihnya "terpaksa" :p
Hahaha bangke! Anak sd mana yg tugas sekolahnya suruh bikin makalah postmodernisme, teori relativitas waktu, teori kuantum blablabla jahaha bisa bisanya ngayal sedemikian ngawurnya, dan memang ngawur sih tapi kok ya degil tenan ^^
BalasHapusSemenjak beberapa Bulan terakhir, saya sudah jarang sekali melakukan blogwalking, kecuali terkhusus dalam. Acara share link WB doang. Kenapa?
Karena entah ketika blogwalking sedemikian sering, entah kenapa saya jadi seperti menuntut agar orang2 yg blognya saya kunjungi untuk melakukan blogwalking yg sama. Kepada blog saya. Namun tatkla ekspektasi tidak. Sesuai dengan kenyataan, entah kenapa ada rasa kecewa.
Maka semenjak hari itu, saya tidak lagi serutin melakukan blogwalking, karena selain waktu yg tdk selonggar dulu, juga kebanyakan tiap blog yg iseng aku kunjungi isinya iklan semua, meskipun itu blog teknologi tapi isinya iklan perihal perbankan, iklan rumah dsb, rodo ra nyambung...
Oleh karena itu, sekarang pas nulis tulisan blog pun memakai konsep mengalir saja sampai jauh..
Eh iya blogku masuk dalam tulisan hahaha
BalasHapusAh i see, i see, jadi kau kenal tiwi pas waktu tulisan tentang kopi itu ya, sekitar Bulan september tahun lalu hahahaha
Lumayan tertampar nih dari obrolannya Plato dan Plati #eh
BalasHapusSaya masih berusaha keras supaya bisa nulis sponsored post (SP) yang softselling gitu. Tapi memang terasa puas kalau nulis SP berdasarkan kisah nyata kita, jadi enggak merasa sia-sia menulisnya karena memang pengalaman pribadi. Cuma ya itu, pengemasan softselling itu gampang-gampang susah. Semoga ke depannya saya bisa terus memperbaiki tulisan.
Btw, ini mas Ilham nyamain anak kuliah sama anak SD? Emang mahasiswa sekarang setara anak SD (pemikirannya)? Duh, kasian... :)))
LOH, ILHAM ANAK KK JUGA?
BalasHapusWAH TAU SCHMIDT FERGUSON DONG!
hahahaha
Aku rindu blog jaman 2012an, masih ada radio blog, blogwalking yang asik2, ngga melulu soal iklan dan bajer.
Aku rindu dia.
Ham. Plis deh. Anak sd belajarnya phytagoras kali ah.
Tulisanmu selalu uapik tenan. Hmmm.. Iya sih, kebanyakan kalo lagi dapet job, lebih mikirin brief dari klien daripada buat pembaca. Aku merasa berdosa huhuhu,, harus diubah lagi nih penyajiannya. Menarik!
BalasHapusSungguh berat materi pelajaran anak sd sekarang, dulu saya hanya cara rangkaian pararel sama rangkaian seri. Itu pun full buku paket belom mengenal google wkwk.
BalasHapusTapi bener sih, kalo penyajiannya asik iklan berasa bukan iklan.
Apalah dayaku, yang menulis curhat aja bikin orang pusing membacanya. Semangat belajar, belajar, nonton anime!
Ham, kesalahanmu diartikel ini cuman satu. Tidak menyertakan saya dalam pembuatannya. Entah aku lupa atau memang tidak ingat, kita pernah membahas poin ini. Tapi, aku ingin menyoroti gaya penulisanmu di artikel ini yang harusnya bisa lebih 'kompor gas' lagi.
BalasHapusKurang nendank, Ham. Kurang menjiwai. Sekali lagi, artikel ini kurang ng-Ilham. Artikel sing ndladuk ki mesti kurang ajar tenan, Ham. Apalagi poin penting di artikel ini kok ya malah kamu analogikan dengan sebuah drama percakapan. Aku jadi tidak sempat mengucap bajindul ketika membaca artikel ini.
Semoga, kedepannya artikelmu semakin ng-Ilham dan membuat saya terpaksa mengucap bajindul ketika selesai membacanya.
Iyaa bener sih, dulu saat masih sering ngeblog dan dapet tawaran selalu pilih2 kalau ada yang nawarin sponsor, selama masih oke diambil dan kalau yang aneh2 mending kagak dah.. karena ngeblog buat seneng seneng aja :D
BalasHapusHmm.. nyimak aja deh obrolan para senior blogger..
BalasHapus"Gaya-gayaan fokus kuliah, lha wong pada akhirnya drop out juga. Bajindul tenan."
BalasHapusHAHAHA SENASIB MAS!! TOS LAH KITA
heyyyyyjudeeeee.com
blogwalking memang sangat diperlukan untuk menambah kunjungan ke web kita, tulisan bagus kak. mudah-mudahan bisa menambah ilmu bagi saya yang masih newbie. kunjungin juga website saya www.learadinka.com
BalasHapus