Anak adalah individu yang rentan. Di usianya yang belia, mereka belum memiliki kemampuan yang memadai untuk melindungi diri. Tidak sedikit kita temui kasus-kasus ekspoitasi anak hingga pelecehan seksual pada anak yang tersiar di berbagai macam media. Karena kemampuan kognitif anak masih belum matang, mereka rawan menjadi korban manipulasi yang berujung pada kasus-kasus seperti yang saya sebut tadi.
Salah satu kasus yang membuat banyak orang heran, marah, dan memicu sumpah serapah adalah kasus eksploitasi anak di sebuah grup Facebook pada 2017. Di dalam grup tersebut, setiap anggotanya saling berbagi foto dan video cabul yang telah mereka lakukan pada anak-anak di sekitar mereka. Dari kasus ini, tertangkaplah 4 pelaku.
Pada masanya, hampir semua kanal berita membahas kasus ini berulang-ulang. Namun alih-alih mengutuk perbuatan cabul, banyak media malah mengobral istilah ‘pedofil’ atau ‘pedofilia’ dengan makna yang tidak tepat.
Dalam definisi yang dibangun oleh American Psychological Association (2000), pedofilia adalah ketertarikan seksual dan kemampuan mendapatkan gratifikasi seksual dari anak berusia kurang dari 12 tahun. Ketertarikan seksual seorang pedofilia pun bervariasi, ada yang hanya tertarik dengan anak-anak tapi ada juga yang tertarik dengan orang dewasa sekaligus dengan anak-anak.
Dalam pemahaman yang kita dapatkan di media, setiap tindakan kekerasan seksual pada anak seringkali memakai istilah ‘pedofilia’. Padahal pedofilia adalah status, sementara kekerasan seksual pada anak adalah tindakan (Dikutip dari Remotivi) . Misalnya begini, saya punya status sebagai seorang hetero, saya tertarik dengan perempuan, tapi status itu tidak lantas membuat saya melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap perempuan. Apapun orientasi seksnya dan siapapun orangnya, melakukan kejahatan seksual adalah sebuah pilihan.
Seorang psikiater, dr. Tara Aseana, mengatakan, “Seorang pedofilia tidak selalu melakukan kekerasan seksual pada anak. Sebaliknya, pelaku kekerasan seksual pada anak belum tentu pedofilia.” (Dikutip dari: Tirto.id)
Jadi, selain seorang pedofilia ada yang bisa mengambil sikap untuk tidak melakukan kejahatan, seseorang yang telah melakukan kejahatan seksual pada anak belum tentu terobsesi pada anak secara seksual. Bisa jadi, dia memang jahat pada semua orang namun situasi sosialnya yang membuatnya hanya bisa melancarkan aksi jahat pada anak. Apapun itu, ketika seseorang dinyatakan bersalah karena melakukan kekerasan seksual pada anak, seharusnya hanya psikiater yang bisa memberi klaim apakah pelaku itu pedofilia atau bukan.
Mengapa ini penting?
Miskonsepsi ini akan mengakibatkan dua hal. Pertama, seseorang bisa dengan mudah mengaku dirinya pedofilia lalu beralasan melakukan tindakan cabul karena “tidak kuat menahan nafsu”. Alasan ini dibuat seolah-olah dirinya tidak punya kontrol atas perilakunya. Menurut Mamik Sri Supatmi, dosen Departemen Kriminologi FISIP UI, penggunaan istilah pedofilia bisa dijadikan dalih oleh penjahat seksual pada anak untuk tidak bertanggung jawab secara hukum karena keadaan pedofilianya merupakan keadaan jiwa yang terganggu. (Dikutip dari: Tirto.id)
Kedua, seorang pedofilia akan mengalami kesulitan ketika mencari penanganan. Padahal penanganan dari tenaga profesional sangat ia butuhkan untuk memulihkan kondisinya. Hal ini sulit tercapai jika secara kultural masyarakat selalu menganggap setiap pedofilia adalah penjahat kelamin. Sehingga sukar bagi mereka untuk menceritakan kondisinya pada orang lain.
Jesse Bering, seorang psikolog dan penulis buku “Perv: The Sexual Deviant in All of Us”, mengatakan bahwa seorang pedofilia itu seperti hidup dalam ‘panic room’ selamanya. Ketertarikannya pada anak yang tidak sesuai dengan prinsip sosio-kultural di lingkungannya membuatnya kesulitan untuk menikmati hidup sebagai dirinya sendiri. Depresi yang tak tertolonglah yang memungkinkan motivasi bertindak jahat itu muncul. (Dikutip dari: The New York Times)
Oleh karena itu, seorang pedofilia seharusnya mendapat kesempatan yang lebar untuk memperoleh penanganan dari tenaga profesional. Terutama, jauh sebelum dia melakukan kejahatan seksual. Untungnya, saat ini penanganan tersebut bisa dijemput lebih dini beserta privasi yang sangat dihargai. Cukup dengan berkonsultasi lewat Halodoc saja.
Dengan aplikasi Halodoc, kita bisa memanfaatkan fitur Talk to a Doctor baik melalui chat maupun voice/video call untuk mendapatkan “pencerahan” atas masalah yang kita alami. Biaya konsultasinya tidak mahal, kok. Tarifnya bervariasi, jadi kita bisa pilih sendiri. Bahkan di Halodoc ada juga jasa konsultasi yang tersedia secara gratis. Selepas konsultasi biasanya kita akan mendapat rekomendasi obat yang harus dikonsumsi. Nah, obat-obat yang umum bisa langsung dibeli juga di Halodoc.
Jadi sangat praktis, murah, dan aman tentunya.
Sumber gambar: Pexels